Kamis, 12 Januari 2012

Kasih Sayang Ibu

Langit Malam ini seakan gelap gulita, bintang seakan bersembunyi dibalik hitamnya awan, cahaya rembulan tak lagi memancarkan sinarnya di malam ini, entah mengapa dimalam itu hujan turun sangat deras seakan-akan ingin membasahi seluruh kota Jakarta ini.
Mataku selalu tertuju pada sebuah kamar operasi. Yah, karena malam ini Ibu harus menjalani operasinya.
Ibu ku menderita kanker payudara stadium lanjut. Ibu tak pernah menceritakan riwayat penyakitnya kepada kami. Karena ibu tak mau melihat kami cemas akan penyakitnya, padahal ibu sendiri selalu kesakitan bila menahan penyakitnya tersebut.
***
Suatu hari aku pernah mendapati ibu memegang dadanya, sepertinya ibu kesakitan. Dan akupun bertanya pada ibu tentang apa yang terjadi, alhasil ibu hanya menjawab dengan wajah tersenyum kecil sambil memegang kepala ku dan berkata “ibu hanya sesak nak, mungkin ibu butuh oksigen diluar sana”.
Entah apa yang sedang kupikirkan aku pun percaya saja dengan ucapan ibu tadi. Mungkin saja ibu memang lagi butuh udara segar karena sejak tadi pagi ibu hanya didapur membuat kue-kue untuk dititipkan di warung-warung tetangga. Karena itulah pekerjaan ibu semenjak ditinggal pergi oleh ayah, ayah meninggal sejak aku berusia 7 tahun. Dan kini aku telah dewasa, aku telah kuliah di salah satu perguruan tinggi negri di Jakarta berkat beasiswa yang aku dapatkan.
Kini, aku hanya tinggal bertiga dengan  ibu dan adik laki-lakiku bernama Andri di gubuk kecil dipinggiran kota Jakarta. Aku kuliah sambil berkerja disalah satu restoran di dekat kampus ku. Sedangkan ibu hanya berjualan kue. Aku berkerja sepulang kuliah demi memenuhi kebutuhan hidup kami bertiga, karena adik ku pun butuh uang untuk biaya sekolahnya yang baru menginjak bangku SMP.
Aku tidak pernah mngijinkan adikku untuk berkerja, karena aku tidak mau  bila pekerjaannya tersebut akan mengganggu konsentrasinya belajar.
***
Pernah suatu ketika, andri mendapati ibu yang pingsan di dapur sambil berlumuran adonan kuenya. Aku yang sedang berkerja pun segera pulang karena Andri menelpon ku untuk segera pulang. Kami bergegas membawa ibu kerumah sakit, dengan nada cemas dan khawatir aku pun menanyakan kondisi ibu kepada Dokter yang menangani Ibu.
“Sudah berapa lama Ibu kamu menderita penyakit ini ?”
Aku yang dengan nada heran dan penuh tanda Tanya pun menjawab, “Penyakit ??? Penyakit apa maksud Dokter ?”
“Ibu kamu menderita Kanker Payudara. Dan ini sudah merupakan stadium lanjut, jika tidak segera ditanganin ibu kamu tidak akan terselamatkan. Sedangkan sekarang saja kanker tersebut sudah menyebar ditubuhnya. Kecil kemungkinan ibu kamu akan terselamatkan”, terang Dokter.
Spontan tubuhku seakan-akan jatuh tertipa reruntuhan bangunan, tak kuat rasanya hatiku menahan rasa sakit tersebut, ingin rasanya aku berteriak dan mengatakan kalau itu semua Tidak Mungkin Terjadi. “ibu ku sehat-sehat saja Dok, ibu tidak pernah memberitahukan kami kalau ibu menderita kanker payudara. Bilang Dok, bilang kalau apa yang Dokter katakan tadi itu semua hanya bohong, katakana Dok…. Katakannnn!!!!!”, teriakku dihadapan Dokter untuk memastikan kalau ucapan Dokter tersebut hanya lah rekayasa semata.
***
Sudah 3 hari Ibu belum juga sadar, Ibu terlihat pucat diatas ranjang kecil dan diselimuti dengan selimut tebal. Tembok putih rumah sakit seakan-akan ingin memberikan isyarat kesembuhan Ibu. Aku selalu berdoa kepada Tuhan agar diberikan jalan kesembuhan Ibu, dan aku selalu yakin akan kebesaran Tuhan yang diberikan kepada kami.
Tak henti-hentinya aku menatap wajah ibu yang penuh dengan kedamaian, walau pun wajah ibu tak lagi secerah dulu tapi aku melihat pancaran sinar yang selalu ada disetiap hembusan nafasnya dibalik penutup oksigen yang menutup hidungnya.
Wajah yang mulai terlihat keriput tersebut seakan-akan meberikan isyarat bahwa dirinya baik-baik saja. Tubuh Ibu kini tak lagi berdaya, terlihat keletihan yang selama ini disembunyikannya.
***
Setelah semalaman suntuk lampu operasi menyala diatas pintu ruang operasi, akhirnya lampu tersebut mati juga pertanda bahwa operasi telah selesai.
Hatiku pun cemas tak karuan, tak henti-hentinya juga aku berdoa agar operasi tersebut berjalan dengan lancar.
“bagaimana Dok dengan Ibu saya, operasinya berjalan dengan lancar-lancar ajah kan Dok ?’, tanyaku.
Tapi tak sepatah katapun keluar dari mulut Dokter yang mengoperasi Ibu. Beliau berlalu begitu saja, sambil diikuti beberapa suster yang sedang mendorong rangjang yang ditutupin oleh kain putih. Suster tersebut memberhentikan ranjang tersebut pas dihadapan ku. Aku pun tak lagi bisa berkata apa-apa, pikiran ku melayang entah kemana, tangan ku seakan berat untuk membuka kain putih yang menutupi tubuh seseorang yang aku belum tahu pasti siapa.
Tak kuasa rasanya aku menahan air mataku, ingin rasanya aku masuk kedalam ruangan operasi dan berharap semoga didalam sana aku menemukan Ibu yang sedang tersenyum manis menantiku untuk dipeluk dan berkata “Ibu baik-baik saja, Nak”.
Tapi itu mustahil bagiku karena aku tahu dalam ruangan operasi hanya ada satu pasien yang dioperasi, dan yang sekarang ada dihadapanku adalah pasien tersebut, dan itu adalah IBU.
Andri yang tak sabar ingin melihat wajah tersebut akhirnya membuka kain yang menutupi wajahnya.
wajah tersebut wajah yang selalu menghiasi hari-hariku, wajah yang telah melahirkan dan membesarkan ku, wajah yang selalu memberikan semangat dan inspirasi hidup ku, wajah yang selalu menopang langkap hidupku, wajah yang selalu memberikan nasehat untuk perjalanan hidup ku, dan wajah yang selalu tersenyum melihat keberhasilan ku.
Sedih rasanya hati ini, melihat kenyataan hidup. Secepat inikah Surga menginginkannya???
Mengapa Tuhan tidak mengijinkan Ibu untuk bertahan lama, setidaknya aku dapat membahagiakan ibu sebelum kepergiannya menghadap-Mu.
Kini, aku hanya tinggal berdua dengan Andri.
Aku harus bisa bertahan hidup tanpa Ibu. Aku harus bisa membesarkan adikku dan menjadikannya anak yang berbakti. Setidaknya aku ingin melihat ibu senang di surga sana melihat semangat juang ku untuk melanjutkan hidup di dunia Fana ini bersama adik kecil ku Andri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar